Perbankan

Industri Keuangan Perbankan Solid, Ekonomi Tumbuh

Industri Keuangan Perbankan Solid, Ekonomi Tumbuh
Industri Keuangan Perbankan Solid, Ekonomi Tumbuh

JAKARTA - Industri perbankan Indonesia menunjukkan ketahanan yang kuat seiring penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI). Langkah ini diyakini membuka ruang lebih luas bagi bank-bank nasional untuk menyalurkan kredit, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Meski kebijakan moneter membutuhkan waktu untuk sepenuhnya terserap ke pasar, kekuatan permodalan yang solid menjadi faktor penopang utama daya tahan sektor keuangan.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,00 persen. Penurunan ini menjadi sinyal akomodatif bagi perbankan, memberikan insentif bagi bank untuk mendorong ekspansi kredit. Data BI menunjukkan, posisi rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) industri perbankan nasional tetap tinggi, mencapai 25,81 persen pada akhir semester pertama tahun ini. Rasio ini menegaskan bahwa bank-bank Indonesia memiliki bantalan modal yang memadai untuk menyerap risiko sekaligus memanfaatkan kesempatan pertumbuhan kredit.

“Transmisi kebijakan moneter memang tidak bisa langsung terjadi dalam waktu singkat. Namun dengan CAR yang memadai, bank-bank punya ruang yang ample untuk menyalurkan kredit. At the end, dengan pertumbuhan kredit bisa tertranslasi menjadi pertumbuhan ekonomi,” ujar Leonardo Lijuwardi, analis NH Korindo Sekuritas.

Menurut Leo, kondisi permodalan yang kuat ini tidak hanya dimiliki bank-bank besar dengan aset besar seperti KBMI IV, tetapi juga terlihat pada bank-bank yang skala dan asetnya lebih kecil. Bahkan beberapa bank KBMI II menunjukkan rasio kecukupan modal yang jauh melampaui rata-rata industri, menegaskan bahwa sektor perbankan nasional memiliki ketahanan yang tangguh di tengah gejolak ekonomi global.

Salah satu contoh menonjol adalah Bank Woori Saudara (BWS), anak usaha Woori Bank Korea yang beroperasi di Indonesia. Bank ini tercatat memiliki Rasio Kecukupan Modal Tier-1 sebesar 29,94 persen dan Rasio Total Modal 31,1 persen pada Juni 2025. Modal inti utama (CET 1) BWS juga mencapai Rp11,4 triliun, memberikan keunggulan strategis bagi ekspansi maupun penguatan tata kelola.

“CAR yang tinggi menjadi pondasi kuat dan kemampuan yang besar bank untuk menyerap risiko kredit. Untuk kelompok bank-bank Korea seperti BWS yang memiliki dukungan kuat dari induk, jadi punya fleksibilitas untuk ekspansi dan penguatan governance (tata kelola),” tambah Leo.

BWS menunjukkan konsistensi permodalan yang melebihi rata-rata industri. Sejak Juni 2024 hingga Juni 2025, rasio kecukupan modal total BWS selalu di atas 30 persen, lebih tinggi lima poin persentase dibandingkan rata-rata bank nasional. Kondisi ini memberi keleluasaan bagi bank untuk menjaga dan bahkan meningkatkan kinerja keuangan, terutama Net Interest Margin (NIM), meskipun biaya dana (Cost of Fund/CoF) industri perbankan relatif tinggi akibat suku bunga yang masih tinggi sebelumnya.

Sepanjang periode Januari hingga Juni 2025, pendapatan bunga bersih BWS meningkat 4,14 persen menjadi Rp871,02 miliar, dengan NIM naik menjadi 3,29 persen. Peningkatan ini menunjukkan kemampuan bank menjaga efisiensi pendapatan bunga meski tekanan biaya dana meningkat. Dengan adanya penurunan suku bunga acuan, bank memiliki peluang untuk memperluas kredit sekaligus mengoptimalkan NIM, selama prinsip manajemen risiko tetap dijalankan secara prudent.

Menurut Leo, bank yang memiliki modal kuat dan mampu menjaga NIM di tengah kondisi ekonomi yang bergejolak akan lebih tahan banting. “Pada akhirnya, bank yang punya modal kuat dan mampu jaga NIM saat kondisi ekonomi sedang bergejolak akan lebih tahan banting,” ujarnya.

Selain BWS, pengamat menilai permodalan tinggi juga terlihat pada berbagai bank lain, tidak terbatas pada skala besar saja. Hal ini menandakan bahwa sektor perbankan Indonesia memiliki fondasi yang kokoh, yang memungkinkan pertumbuhan kredit berjalan selaras dengan stabilitas keuangan. Dengan modal yang memadai, bank-bank dapat menyalurkan kredit lebih agresif, mendukung konsumsi rumah tangga maupun investasi bisnis, yang pada gilirannya memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional.

Sementara itu, penurunan suku bunga acuan juga diharapkan memperbaiki kondisi likuiditas dan menurunkan biaya kredit. Dampak positif ini akan terasa secara bertahap, seiring bank memanfaatkan kapasitas modal yang ada untuk mendukung ekspansi kredit. Kekuatan modal yang tinggi memberikan fleksibilitas bagi bank untuk menghadapi risiko ekonomi, sekaligus memanfaatkan momentum pertumbuhan di masa mendatang.

Secara keseluruhan, kombinasi suku bunga yang lebih rendah dan modal bank yang solid menjadi katalis positif bagi industri perbankan. Bank-bank dengan permodalan kuat, seperti BWS, mampu mempertahankan kinerja sekaligus bersiap menyalurkan kredit lebih luas. Dengan demikian, sektor perbankan nasional tidak hanya tetap tangguh menghadapi tantangan global, tetapi juga siap mendorong pertumbuhan ekonomi domestik secara berkelanjutan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index