JAKARTA - Ketegangan dagang yang dipicu oleh kebijakan tarif tinggi Amerika Serikat kembali menjadi momok bagi pasar global. Respons pasar terhadap langkah proteksionis terbaru dari Presiden AS Donald Trump pun tercermin jelas pada pergerakan harga minyak mentah yang mengalami penurunan di tengah sentimen negatif yang merebak.
Kali ini, minyak mentah global tidak mampu bertahan di tengah gejolak kebijakan perdagangan yang semakin agresif. Harga minyak mentah Brent terkoreksi sebesar 22 sen atau turun 0,31 persen menjadi US$69,97 per barel. Sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dari AS melemah 27 sen atau 0,39 persen ke level US$68,11 per barel.
Langkah Trump melancarkan tarif baru terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia dan Brasil, menjadi pemicu utama keresahan pasar. Meningkatnya tensi geopolitik dan ancaman tarif impor tinggi menimbulkan kecemasan bahwa permintaan global terhadap minyak bisa melemah, terutama jika kebijakan ini menyebabkan perlambatan ekonomi di negara-negara mitra dagang utama.
Indonesia termasuk dalam daftar negara yang terkena dampak langsung dari kebijakan ini. Meskipun beberapa negara telah menyatakan keinginan untuk melakukan negosiasi ulang, Trump tetap bersikukuh memberlakukan tarif impor sebesar 32 persen untuk produk dari Indonesia. Hal serupa dialami Brasil, yang bahkan diancam tarif lebih tinggi, yakni 50 persen atas ekspornya ke AS.
Situasi makin memanas ketika Trump secara terbuka menyampaikan ketegangan antara dirinya dan Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva. Eskalasi ini memperpanjang daftar negara yang terlibat dalam konflik dagang dengan AS, yang sebelumnya mencakup Korea Selatan, Jepang, Filipina, Irak, serta sejumlah negara lain yang menerima surat pemberitahuan tarif baru dari Gedung Putih.
Langkah proteksionis Trump tak hanya memicu kekhawatiran soal pertumbuhan ekonomi global, tetapi juga memunculkan potensi pelemahan dalam sektor energi, khususnya permintaan minyak. Pasar menyadari bahwa perlambatan aktivitas industri dan perdagangan sebagai akibat dari perang dagang akan menurunkan konsumsi energi dunia.
Bukan hanya sentimen dagang yang membebani harga minyak. Laporan dari Badan Informasi Energi AS (EIA) yang menunjukkan peningkatan cadangan minyak mentah di negara tersebut turut mempertebal tekanan negatif. Persediaan minyak yang bertambah menjadi indikasi bahwa konsumsi domestik belum meningkat secara signifikan, meskipun ekonomi AS tengah berupaya pulih dari dampak pandemi dan ketegangan global.
Namun demikian, tak semua berita membawa awan gelap. Laporan dari JP Morgan justru memberikan sedikit harapan di tengah kabar suram ini. Dalam catatannya kepada para klien, bank investasi tersebut mengungkapkan bahwa rata-rata penerbangan harian global selama delapan hari pertama Juli telah mencapai titik tertinggi sepanjang sejarah. Lonjakan tersebut menunjukkan pemulihan yang kuat di sektor transportasi udara, khususnya di China, di mana aktivitas penerbangan menyentuh puncak lima bulan terakhir.
Aktivitas di sektor pelabuhan dan pengangkutan kargo juga memperlihatkan indikasi positif. Volume pengiriman logistik yang kembali meningkat mencerminkan kelanjutan ekspansi perdagangan internasional, setidaknya dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
JP Morgan juga menyoroti bahwa sejak awal tahun, permintaan minyak global mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 0,97 juta barel per hari. Angka ini sejalan dengan proyeksi awal sebesar 1 juta barel per hari yang mereka tetapkan, memperlihatkan bahwa secara fundamental pasar energi masih menunjukkan ketahanan meskipun dihadapkan pada ketidakpastian makroekonomi.
Faktor-faktor inilah yang setidaknya membantu menahan penurunan harga minyak agar tidak semakin dalam. Permintaan yang tetap stabil di sejumlah wilayah dunia, ditambah aktivitas transportasi dan logistik yang mulai pulih, menjadi penyeimbang terhadap tekanan akibat kebijakan dagang yang agresif.
Kendati demikian, pelaku pasar tetap mewaspadai arah kebijakan perdagangan AS ke depan. Ancaman tarif lanjutan dan reaksi balasan dari negara-negara yang terdampak bisa memperburuk kondisi pasar global. Perang dagang berkepanjangan tidak hanya akan mengganggu arus barang dan jasa, tetapi juga menekan sentimen investasi dan stabilitas harga komoditas energi seperti minyak.
Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia dan Brasil, kondisi ini menambah tantangan tersendiri. Selain harus menghadapi tekanan ekonomi akibat tarif ekspor, mereka juga berpotensi mengalami lonjakan harga energi domestik apabila pelemahan permintaan global berimbas pada nilai tukar dan biaya impor energi.
Situasi tersebut turut menuntut pemerintah negara-negara terdampak untuk lebih waspada dalam menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri. Diversifikasi pasar ekspor dan strategi energi yang lebih mandiri menjadi kunci dalam menghadapi tekanan dari dinamika global yang tidak menentu.
Di sisi lain, komunitas internasional juga diharapkan mendorong dialog yang lebih intensif untuk menghindari eskalasi perang dagang. Kerja sama multilateral dan penggunaan forum internasional seperti G20, WTO, atau pertemuan bilateral diharapkan dapat menciptakan ruang kompromi dan solusi bersama.
Sementara itu, pelaku pasar dan investor energi perlu mencermati pergerakan data-data ekonomi global serta respons kebijakan moneter dari negara-negara besar. Arah kebijakan OPEC+ juga akan sangat menentukan bagaimana pasokan minyak ke depan akan disesuaikan untuk menjaga keseimbangan pasar.
Dalam kondisi seperti ini, pasar minyak tetap menjadi arena yang dinamis, sangat dipengaruhi oleh faktor geopolitik, kebijakan nasional, dan pergerakan ekonomi global. Tantangan yang ditimbulkan oleh kebijakan tarif AS tidak bisa diabaikan, tetapi peluang pemulihan tetap terbuka bila permintaan global mampu terjaga.